Senin, 29 Oktober 2007

Kisah Ulat dan Kura-Kura

Suatu hari ayah bercerita,

Ada kisah kura2 kecil bertemu dengan ulat 'nakal'.
Si kura2 hanya senang berlindung di balik cangkangnya. Sebab dengan cangkangnya ia dapat melindungi kerapuhannya.
Sementara ulat tampak liat, gemar meliuk2 dan bercengkrama dengan ragam hewan lainnya. Dia juga pandai menarik minat si kura2 untuk menjadi teman akrabnya. Membuat kura2 menjadi 'terbuka' dan semakin sering keluar dari cangkangnya, demi mendengar cerita si ulat setiap harinya.

Kura2 seringkali terpana dengan kisah2 ulat, maka kura2 menjulukinya 'ulat nakal'. Betapa tidak ia menjulukinya sbg 'ulat nakal'? Ulat tampak sering melompat2 mencicipi ragam rasa dalam hidupnya. Ia meloncat2 dari tanah kering ke tanah basah, dari dataran tinggi ke dataran rendah, dari daratan ke lautan, terkadang hanya untuk alasan yang sepele: yakni sekedar membantu menyenangkan hati teman2nya. Meski harus mengorbankan keselamatannya sendiri, ulat rela berbuat, entah. Ulat juga mampu survive di tengah 'kekecilannya' sbg ulat dibanding dengan hewan2 lainnya yang raksasa. Terkadang ulat juga 'nakal' menggoda kuntum bunga yang disinggahinya, pun menggoda bintang2 di angkasa dengan puisi2 gubahannya. Sungguh nakal.

Kura2 senang menemani ulat bercengkrama, berlama2, men-ceng-krama-kan aneka rupa pesona kejadian dunia. Seringkali kura2 merasa bahwa dirinya terlalu bawel, dengan banyak pertanyaan yang sering diajukannya pada ulat dan menuntut ulat untuk memberikan jawaban2 atas semua pertanyaannya. Ulat yang nakal, sering sekenanya saja memberikan jawaban jika sudah kehabisan akal, atau malah hanya menjawab dengan tertawa. Ihhhh, kura2 sering kesal: bukannya dijawab, malah ketawa. Tapi kura2 bahagia, sebab ada yang mendengarkannya, mendengarkan kura2 yang selama ini lebih sering berteriak dari dalam cangkang saja.

Malam2 mereka adalah malam2 interaksi yang selalu dipenuhi kejutan akan jutaan pertanyaan dari si kura2. Serta dipenuhi jawaban2 nakal dari si ulat nakal. Semuanya indah.

"Ayah, lantas mengapa kura2 begitu terpana pada ulat? bukankah mereka dua jenis makhluk yang berbeda? mengapa kura2 tidak terpana pada kura2 lainnya saja? apakah ia tidak memiliki teman sesama kura2?"

Ayah berkata: ketulusan hatilah akar dari semuanya, ketulusan hati ulat dalam menghadapi hidupnya membuat kura2 terpana dan menstimulasi munculnya ketulusan hati si kura2.

"Lantas ayah, apakah keduanya dapat tetap saling berbagi cerita selamanya?"

Ayah berkata: anakku, tak ada yg abadi di dunia, demikian pula dengan mereka. Mereka hanya bagian kecil dari mozaik alam semesta.

"Lantas, akhir ceritanya bagaimana ayah?"

Setau ayah, ayah hanya sempat mendengar saat si kura2 berdoa, begini kira2 doanya: Ya Tuhan, yang menciptakan diriku sebagai kura2, jadikanlah si ulat di suatu hari nanti tidak lagi menjadi ulat yg nakal. Semoga ulat, setelah melampaui masa2 'pertapaan'nya yang penuh uji dan coba, ia dapat bermetamorfosis menjadi kupu2 yang indah. Terbang bangga mengembangkan sayapnya, menatap dunia. Meski tanpa bersama kura2.

Iya, kura2 harus pergi, atas sebuah kondisi yang tak diinginkannya.

Oh ya, ayah juga sempat mendengar bisikan lirih dari kura2, saat kura2 beranjak hendak meninggalkan ulat yang ada di belakangnya. Kura2 berbisik sambil menunduk, namun langkahnya tetap dikuatkan, lirih bisikannya seperti tanpa harapan: Ulat, tolong temani kura2 ya jika kura2 suatu saat kelak kembali kepada tanah. Kan ulat biasanya suka menjadi teman bagi makhluk2 bernyawa yang telah menemui ajalnya kan? Biar kura2 gak merasa takut akan gelap di bawah tanah dan tetap bisa bercerita banyak pada ulat, seperti dulu. Maafkan kura2 ya, ulat.

Tidak ada komentar: