Senin, 23 Juni 2008

Sharing: Indigo

Lagi, jadi pembicara tema indigo.
Kali ini di Perpusnas, atas undangan Univ YAI Jakarta.

Jika pada kali pertama di UIN, bintang tamunya adalah anak indigo (Anisa Rania Putri: anak kecil yang jago bahasa inggris sejak pertama kali mengeluarkan kata pertama, tanpa diajarkan oleh ibunya/siapapun), maka pada kesempatan tadi adalah indigo berusia dewasa. 2 sampel berbeda ini, membuat saya jadi mulai mengerti alurnya indigo ini.

Heboh fenomena indigo sudah terjadi beberapa waktu lalu, sejak gembar-gembor pemberitaan di media.
Kick Andy Show pernah menayangkan seorang anak (Ario, 12 th) yang mampu menulis aksara cina kuno, padahal tidak pernah diajari. dimana berdasarkan keyakinannya, ia adalah prajurit perang cina, di masa terdahulu, sebelum ia dilahirkan di masa kini. Selain itu, Ario memiliki kemampuan ESP (Ekstra Sensory Perception) berupa kemampuan melihat makhluk halus, dan dapat mengetahui bahwa neneknya akan meninggal (firasat).

Annisa Rania, termasuk yang sering diberitakan, terutama tentang kemampuannya menceritakan secara detil hal2 yang terjadi selama berada dalam rahim ibunya. hal ini diceritakannya secara fasih dalam bahasa inggris.

Sementara itu, pada kasus yang saya temui hari ini: indigo dewasa, ternyata ia tidak pernah tidak merasakan mimpi dalam tiap tidurnya. bahkan tidur 5 menit saja bisa bermimpi. uniknya, sejak usia 3th, beliau sudah sadar akan mimpi yang dialaminya (bayangkan: bukankah kognisi kita seharusnya pada usia tersebut belum punya kesadaran akan hal2 yang abstrak toh? ck..ck..ck). Hal unik lainnya, mimpi2 tersebut banyak yang menjadi kenyataan, dan ia juga sering berada di tahun2 bersejarah dalam mimpi tsb (pernah berada di tahun 1928, di masa eyang buyutnya)

Sebelum saya ceritakan sebuah alur yang terkait dengan indigo anak2 ke indigo dewasa, ada baiknya saya cantumkan sedikit penjelasan terkait dengan indigo ini.

Istilah indigo berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan kombinasi warna biru dengan ungu. Warna-warna tersebut diidentifikasi lewat cakra di tubuh. "Letak indigo ada di kening, persisnya antara cakra leher yang berwarna biru dengan cakra puncak kepala yang berwarna ungu,"

Orang awam dapat mengidentifikasi indigo ini berdasarkan ciri sbb:

Suka berbicara sendiri
Dapat melihat masa lalu dan masa depan
Cenderung lebih matang dari usianya (dapat menangkap perasaan, kemauan dan pikiran orang lain)
Kecerdasan di atas rata-rata: mampu melakukan hal-hal yang bahkan belum pernah dipelajari sebelumnya.


Namun ada ciri spesifik yang harus dipastikan dalam menentukan apakah individu tsb indigo atau tidak, yakni:
Memiliki aura berwarna nila (berdasarkan hasil foto aura)
Memiliki kemampuan spiritual bawaan: mengetahui sesuatu yang berada di luar kemampuan sensorinya (ESP: Extra Sensory Perception)
Anak indigo biasanya banyak bertanya, dan orangtuanya akan kewalahan menjawab. Umpamanya, kenapa harus begini, kenapa harus begitu. Dia akan merasa heran untuk beberapa hal, yang dirasa tak masuk akal. Seringkali bersikap non-kompromistis terhadap segala sesuatu yang dinilainya bersifat pemaksaan

Disebabkan ada ciri spesifik yang harus dipastikan, seperti tercantum di atas, then how to assess?

Foto Aura

Observasi dan Wawancara: terkait dengan penggalian pola pikir, sikap2 dewasa (kebijaksanaan) dan pengalaman2 spiritual atau kemampuan ESPnya


Intinya, klo ada di antara anda yang merasa memiliki ciri2 di atas, baru bisa mengaku indigo klo udah ada hasil poto auranya ya. makanya: yuukks rame2 foto aura, buat lucu2an juga boleehh, apalagi klo ternyata aura kita indigo kan kali aja bisa diundang jadi bintang tamu. hehehehehe...., psikolog indigo kan belum ada tuuhh...hahaha..

Lanjut.

Jika dari ciri2 tsb di atas, such: suka berbicara sendiri, merupakan ciri2 abnormalitas, apakah indigo masuk kriteria diagnostik?

Istilah Indigo tidak terdapat pada DSM IV (Diagnostic N Statistical Manual for Mental Disorder), ataupun ICD-10 (Psikiatri). SHg Indigo tidak dapat dianggap sbg ‘penyakit’

Maka harus dapat dibedakan antara indigo dengan kriteria2 lain, seperti:

Jika salah satu ciri indigo adalah Suka berbicara sendiri, hal ini tidak berarti bahwa anak indigo sama dengan Autisme, pun bukan childhood onset of schizophrenia

Jika salah satu ciri indigo adalah Aktif dan cenderung ‘tidak bisa diam’, pemberontak. Hal ini tidak berarti bahwa anak indigo sama dengan Hiperaktif atau ADHD

Jika salah satu ciri indigo adalah Cerdas, dapat mengerjakan berbagai hal yang belum pernah diajarkan. Hal ini tidak serta merta menjadikan anak indigo ke dalam kriteria anak2 Gifted or Talented.

Nah, kira2 demikian penjelasan singkatnya.

Kemudian, yang menarik untuk dipaparkan dalam forum diskusi ini adalah terkait bukti2, bahwa terdapat dilema yang terjadi pada diri individu indigo:

Secara Kognisi: ada ‘jarak’ antara kemampuan intuisinya yang luar biasa dalam hal mempersepsikan dunia – dengan – ‘pengalaman pahit’ yang harus dialaminya atas ketidakadilan yang ditemui/dirasakan dari lingkungannya. Hal ini menimbulkan ‘rasa sakit’ dan perasaan tidak nyaman terhadap dirinya sendiri, merasa ‘tidak utuh’ (Un-Fullness).

Disebabkan sering berfikir tentang hal2 yang berada di luar kewajaran, terkadang anak indigo menjadi sakit secara fisik >> lantas menjadi tertekan, represi ke alam mimpi >> terjadi mimpi buruk >> kemudian timbul reaksi2 fisiologis yang tidak sehat

Selain itu, dengan kelebihan yang dimiliki, cenderung membuat anak menjadi tidak realistis dan malas. "Kalau mereka konsentrasi dengan memusatkan energi, mereka bisa membayangkan soal-soal yang akan keluar dalam ujian. Ini bisa membuat mereka jadi malas belajar."


Lantas, apa yang bisa kita lakukan terhadap mereka?


After-school programs: Mengulang pelajaran di sekolah, secara individual. Utamanya bagi mereka2 yang tidak bisa melibatkan diri dalam proses KBM di sekolah.

Konseling individual terkait dengan kesulitan-kesulitan yang ditemui selama di sekolah, juga dapat dilakukan.

Konseling: Pendekatan kognitif, ditekankan pada aspek pengalaman-pengalaman spiritual atau ‘pengalaman ajaib’ yang dialaminya. Sebab, mereka sering merasa tidak berada di bumi (‘out of place in this world’)

Medication: ada dugaan bahwa dalam sistem limbik otak, terutama neurotransmiternya, terganggu.

Dirikan semacam perkumpulan bagi para indigo yang ‘petualang spiritual’: sebagai tempat berdiskusi, belajar bersama, dan sharing ide-ide atau sebagai tempat ‘penyembuhan diri’ (healing)

Memfasilitasi ‘proses teurapeutic’ bagi anak, utamanya terkait dengan kemampuan spiritual si anak, sehingga potensi-potensi luar biasa yang dimiliki oleh anak indigo ini dapat mengarahkan perilaku-perilakunya pada hal-hal positif saja.

Jembatani ‘jurang’ yang dimiliki anak indigo. ‘Jurang’ ini berupa: kemampuannya mempersepsikan dunia secara intuitif dan ‘luar biasa’, namun di sisi lain mereka juga merasakan ‘sakit’ dan ‘pahit’ akibat banyaknya ketidakadilan/ketidakberesan dari dunia di sekitar mereka. Proses ‘healing’ (pen-jembatan-an) ini akan secara perlahan mengurangi (bahkan menghilangkan) ‘rasa sakit’ atau ‘rasa tidak nyaman’ anak indigo terhadap kemampuan yang mereka miliki. Serta izinkan anak-anak ini memiliki ‘ruang’ bagi hidupnya, agar bermakna dan memiliki tujuan yang positif.

Kekuatan yang mereka miliki agar bisa diarahkan ke hal-hal yang positif (kemanusiaan, misal: u/ penyembuhan, pengambilan keputusan penting di masa depan, dll). FYI, di Amerika, individu2 indigo 'dimanfaatkan' untuk membantu negara.

Penting untuk diingat: agar tidak mengkomersialisasikan anak indigo ini dalam bentuk apapun, guna mencegah beban psikologis dan beban sosial pada diri anak.

Untuk mengurangi ‘ketersiksaan’ anak atas kelebihan yang dimilikinya, terkadang penting pula untuk "menormalkan" anak-anak berdaya lebih ini. Dapat dilakukan dengan cara “menumpulkan" kemampuan si anak: orang tua dapat memberi pengertian bahwa apa yang diketahui si anak itu semata-mata faktor kebetulan.

Last,

Anak-anak indigo pada dasarnya seumur hidup akan indigo terus (berkembang menjadi 'indigo dewasa'). Di usia anak-anak, mereka kerap "berontak". Tapi ketika dewasa, karena sudah bisa menyesuaikan diri, sikap pemberontakannya berkurang.

“Pendampingan" terhadap anak indigo sangat diutamakan, agar mereka bisa tumbuh secara wajar.

Contoh pada indigo dewasa yang saya temui tsb, ternyata saat ditanyakan 'apakah capek dengan kemampuan luar biasa yang dimilikinya? dan apakah ingin menghilangkannya?' Jawabannya adalah 'YA! Tapi mau bagaimana lagi, ya dijalani saja'

---

“Seorang anak harus tahu bahwa ia adalah keajaiban, sebuah mukjizat yang belum pernah ada sejak kejadian bumi, dan sampai akhir zaman bahwa takkan ada anak lain yang seperti ia.”

~Pablo Casals~


Kamis, 07 Februari 2008

Loneliness

Jenis dan Dinamika Terjadinya Loneliness Pada Masyarakat Modern

Rena Latifa, M.Psi, Psikolog
Diterbitkan dalam Jurnal 'Enlightmen'
Universitas Al-Azhar Indonesia

Perasaan loneliness adalah sebuah fenomena universal yang dapat terjadi pada setiap individu dalam ras manapun, usia berapapun, dan sepanjang kehidupan sejarah manusia (De Jong Gierveld, 2002). Orang-orang kota yang hidupnya dikelilingi segala fasilitas ternyata ditemukan memiliki rasa loneliness ini. Moustakas (1961) menyebutkan, pada masyarakat urban (perkotaan) yang impersonal lebih mudah ditemukan sebuah kondisi perasaan loneliness (perasaan sepi atau sendiri – selanjutnya pada tulisan ini akan dipakai istilah loneliness), di mana individu menemui individu lain tidak sebagai dirinya sendiri, melainkan sebagai bentukan dari tugas-tugas atau kewajiban dalam masyarakat saja.

Di tengah sebuah perkembangan dalam teknologi komunikasi yang sedemikian maju, yang memungkinkan berbagai jenis orang dari berbagai daerah di penjuru dunia untuk saling berkomunikasi, berbagi jasa, informasi maupun data melalui teknologi canggih misalnya, ternyata ditemukan orang-orang yang feel lonely dan merasa sedih karena “sendiri” (Harmon, 1998). Lebih parahnya lagi, para ahli menyebutkan bahwa kondisi loneliness ini merupakan kondisi awal dari terjadinya bentuk-bentuk psikopatologi yang lebih berat seperti depresi (Lauer & Lauer, 2000), stress, agresi, bunuh diri bahkan dapat memicu ke dalam berbagai bentuk kecanduan (cth: kecanduan narkoba, alkohol, internet, judi, dll) yang awalnya dikarenakan individu ingin melarikan diri dari rasa lonelinessnya tersebut (Perlman and Landolt, 1999).

Istilah loneliness cukup banyak didefinisikan. Beberapa ahli yang dapat ditemui memberikan pemaparan tentang hal ini diantaranya adalah De Jong Gierveld (1999). Ia mendefinisikan loneliness sebagai kondisi isolasi sosial yang subyektif (subjective social isolation), di mana situasi yang dialami individu tersebut dirasa tidak menyenangkan dan tidak diragukan lagi terjadi kekurangan kualitas hubungan (lack of quality of relationship). Selain itu, jumlah (kuantitas) jalinan hubungan yang ada pada individu juga ditemukan lebih sedikit dari yang diharapkan dan diterima, serta situasi intimacy (keakraban) yang diharapkan juga tidak pernah terealisir.


Moustakas (1961) membagi loneliness ke dalam jenis:
Loneliness
eksistensial (existensial loneliness). Individu sadar sepenuhnya bila dia adalah soliter, tunggal, dan terisolasi. Isolasi terjadi karena adanya ketakutan, penolakan dan usaha individu untuk menghindar atau bahkan lari dari pengalaman loneliness. Akibatnya individu tidak dapat maju dan berkembang sebagaimana seharusnya.
Kecemasan akan loneliness (loneliness anxiety). Individu merasa “terpisah” dari dirinya sendiri, karena terdapat kesenjangan antara “diri” yang sebenarnya dengan “diri” yang dia inginkan. Kecemasan akan loneliness ini juga terjadi karena individu kurang mampu memenuhi keinginannya untuk menjalin keintiman dengan orang lain.

Pada tahun 2002, De Jong Gierveld juga membedakan antara state loneliness (terjadi sementara, sewaktu-waktu dan tidak berlangsung lama; hanya terjadi bila individu menghadapi sebuah situasi yang tidak dapat dihindari, seperti misalnya pada individu yang baru pindah rumah atau pindah kantor dapat mengalami perasaan loneliness juga) dan trait loneliness (pengalaman loneliness yang sering terjadi, berlangsung lama serta senantiasa datang; biasanya terjadi pada individu yang tumbuh dalam situasi penolakan atau ketidakperdulian dari lingkungan sekitar, sehingga loneliness ini merupakan bentuk mekanisme dirinya dengan membuat jarak terhadap orang lain; individu belajar untuk tidak mempercayai orang lain karena orang lain dianggap hanya akan menyakitkan hati).


Lauer dan Lauer (2000) menyebutkan 2 jenis loneliness, yakni loneliness sosial dan loneliness emosional. Loneliness sosial terjadi akibat kurangnya hubungan interpersonal dari yang diinginkan, dan loneliness emosional terjadi akibat kurangnya hubungan yang intim atau akrab dari yang diinginkan.

Meng
enai jenis loneliness emosional dan loneliness sosial ini juga didefinisikan oleh Weiss (dalam Stroebe & Stroebe, et. al., 2003). Loneliness emosional (the loneliness of emotional isolation) dapat muncul pada tiadanya kelekatan emosional yang dekat (close emotional attachment) dan hanya bisa diperbaharui melalui penyatuan emosional attachment terhadap orang lain yang pernah dirasakan “hilang” tersebut. Contoh pernyataan yang mengindikasikan terjadinya emotional loneliness ini yaitu: “Saya merasa sendiri dan sepi meski sedang bersama dengan orang lain”; “Saya sering merasa loneliness”. Sementara social loneliness dihubungkan dengan ketiadaan social network, diakibatkan oleh kurangnya kerabat, teman, atau orang-orang dari lingkup sosial yang sama, di mana mereka dapat berbagi aktivitas atau minat yang sama. Ditandai perasaan bosan bersamaan dengan perasaan marginal(terpinggirkan). Individu yang merasakan social loneliness pada umumnya mengatakan: “Saya memiliki teman-teman dan relasi yang sesuai dengan selera saya (yang saya inginkan saja)”.

Beck dan Young (dalam Peplau & Perlman, 1982) menyatakan loneliness terbagi atas
:
Loneliness
kronis (Chronic loneliness), terjadi apabila setelah jangka waktu bertahun-tahun seorang individu tidak mampu untuk mengembangkan relasi sosial yang memuaskan.
Loneliness
situasional (Situational loneliness), terjadi saat seseorang mengalami perubahan besar dalam hidup yang mengakibatkan stres, misalnya kematian pasangan hidup, kematian anak, berakhirnya pernikahan, dan lain-lain.
Loneliness
transien (Transient loneliness), merupakan loneliness yang paling umum, terjadi secara singkat dan tidak mendalam.

William Sadler (1975) mendeskripsikan bentuk-bentuk loneliness sebagai berikut:

Interpersonal loneliness
. Manakala individu merindukan seseorang yang dahulu pernah dekat dengannya. Tipe loneliness ini melibatkan kesedihan yang mendalam. Individu selalu mencari-cari orang baru untuk dicintai. Tapi jika menemukan orang yang potensial menjadi pasangan barunya sebelum ia mampu mengatasi kesedihan terdahulu, maka individu akan takut atau menolak.
Social loneliness
. Individu merasa terpisahkan dari kelompok di mana dia merasa berarti. Tipe loneliness ini sering menghinggapi kaum minoritas. Loneliness sosial secara lebih akurat didefinisikan sebagai perasaan ketika individu tidak ingin terpisah dari kelompok sosial yang dianggap penting bagi kesejahteraannya dan tidak ada hal yang dapat ia lakukan untuk mengatasi hal itu sekarang.
Culture Shock
. Loneliness ini terjadi ketika individu pindah ke suatu lingkungan kebudayaan baru. Loneliness ini kemungkinan melibatkan loneliness sosial juga karena beberapa kebudayaan masih tidak mudah untuk menerima orang lain.
Cosmic loneliness
. Setiap orang terkadang merasakan loneliness kosmik. Loneliness kosmik juga dikenal sebagai loneliness eksistensial, yaitu perasaan ketidakmungkinan untuk menjalin suatu hubungan yang sempurna dengan orang lain.
Psychological loneliness
. Jenis loneliness ini datang dari kedalaman hati individu, baik itu yang berasal dari situasi masa kini ataupun sebagai reaksi dari trauma-trauma masa lalu (Criswell, 1999, dalam Working Through Loneliness).

Penyebab Loneliness

Ada beberapa penyebab dari loneliness. Rokach (1998) menyatakan bahwa loneliness merupakan suatu pengalaman universal yang dialami oleh setiap manusia. Sebagai pengalaman subyektif yang unik, loneliness disebabkan oleh lingkungan personal individu, perubahan sosial yang terjadi, maupun sejarah pribadi dari individu itu sendiri. Tiap manusia pasti pernah mengalami loneliness.


Merasa sepi disebabkan oleh perasaan akan keterpisahan yang tidak dapat ditoleransi lagi, pada tingkatan yang paling dalam. Pada beberapa tingkatan, hal tersebut merupakan emosi yang normal, bagian dari masa pertumbuhan. Ketika lahir kita sudah memulai proses keterpisahan ini, pertumbuhan menjadi seorang individu. Pada bulan-bulan pertama masa bayi, ketika kesadaran akan keterpisahan mulai terbentuk, dengan sendirinya kebutuhan akan menjalin hubungan juga terbentuk.


Menurut Sullivan (1953), loneliness merupakan pengalaman paling menyakitkan yang dialami manusia, yang terjadi ketika kebutuhan akan kontak tidak terpenuhi. Menurut Sullivan, loneliness pertama kali terjadi yaitu pada masa remaja.


Fromm-Reichmann (1959) menggarisbawahi bahwa loneliness sudah dimulai sejak masa kanak-kanak dan ketika bayi mulai disapih. Beliau menyebutkan bahwa manusia merasa terancam ketika kehilangan batas-batas dunia mereka serta kehilangan kemampuan membedakan antara dunia subjektif dan dunia objektif mereka.


De Jong Gierveld (1999) menyebutkan, kondisi loneliness ini dapat dengan mudah terjadi manakala terdapat kesenjangan antara keinginan individu untuk mendapatkan afeksi dan kehangatan dari orang lain dengan kenyataan yang dimiliki individu (individu kenyataannya tidak mendapat afeksi dan kehangatan sesuai harapannya: teman yang dimiliki tidak sebanyak gambaran jumlah teman yang diinginkan, orang dekat yang dimiliki tidak sesuai dengan harapan kedekatan yang diinginkan).


Rokach dan Sharma (dalam Lauer & Lauer, 2000) lebih lanjut menyatakan bahwa loneliness mencerminkan kegagalan individu untuk berintegrasi dengan lingkungan. Kegagalan ini mengakibatkan individu tidak lagi merasa menjadi bagian yang berarti dan penting dari suatu kelompok. Pada beberapa orang, rasa loneliness lebih bersifat konstan dan tidak terkait dengan kejadian eksternal ataupun masa. Terkadang, ada orang yang merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri ataupun merasa bahwa dirinya tidak disukai oleh orang lain. Mereka mungkin mempunyai self esteem yang rendah dan kurang percaya diri (terkadang ingin menjadi seperti orang lain). Akar muasal loneliness bisa disebabkan karena tidak dicintai ketika kecil, sehingga ketika dewasa mereka melanjutkan perasaan tidak berharga dan tidak dicintai itu dalam setiap hubungan yang terjalin, termasuk hubungan dengan diri mereka sendiri (De Jong Gierveld, 2002). Terkadang orang menarik diri mereka sendiri, sadar atau tidak sadar, untuk menghindari perasaan terluka.


Larry Yeagley (tanpa tahun) mengatakan bahwa loneliness dapat disebabkan oleh berbagai faktor sosial, yakni:

Kemandirian dan ketergantungan diri
. Dua hal tersebut sering didengungkan sebagai sebuah usaha untuk mencapai kemajuan dan sukses. Kerja tim tampaknya sudah tergantikan oleh inisiatif individu. Sehingga individu merasa tidak lagi perlu untuk berhubungan dan tergantung pada orang lain, hal ini menyebabkan loneliness.
Kompetisi
. Hal ini dimulai sejak taman kanak-kanak dan diterapkan di rumah, tempat kerja, dan di mana saja. Paul Tournier secara tegas menyatakan hal tersebut membuat manusia tidak lagi membutuhkan teman dan loneliness adalah hasilnya.
Segregasi kelompok usia
. Anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya bersama teman sebaya. Orang-orang tua meninggalkan rumah dan lebih memilih rumahnya diurus oleh para pembantu serta menyewa pengasuh untuk anak-anaknya. Situasi trans-generasi yang tidak adekuat ini menyebabkan isolasi pada individu.
Suburban sprawl
(perpencaran karena pengaruh sub-urban). Banyak rumah tangga di dunia (terutama di negara-negara besar) terpisah dari keberadaan tetangganya dan tidak lagi ditemukan perbincangan antar tetangga dari balik pagar rumah.
Hiburan di rumah
. Komputer dan video menawarkan hiburan yang lebih personal dan menggantikan fungsi pertemuan di tempat sosial.
Kejahatan
. Orang kota menghindari interaksi yang tidak perlu dan memilih tinggal di rumah dengan pintu terkunci.
Mobilitas
. Jumlah frekuensi pergerakan individu (mobilitas sosial) yang terlalu cepat.
Latchkey children
. Keterpisahan dari orang tua dalam jangka waktu cukup lama berpotensi menyebabkan loneliness pada anak-anak dan remaja.
Perceraian
. Kebebasan individu hal yang paling utama. Tanggung jawab terhadap orang lain dan setia terhadap komitmen bukan hal prioritas yang dianjurkan oleh konselor pernikahan. Penolakan dan loneliness meningkat sejalan dengan bertambahnya angka perceraian.
Isolasi
. Banyak faktor yang ikut berkontribusi dalam isolasi individual dan keluarga. Sebagai contoh, orang tua tunggal terlalu sibuk untuk perkembangan pribadi dan perkembangan sistem support.
Penyakit
, juga menyebabkan orang tinggal di rumah dan menghindari sosialisasi.

--------

Tulisan lengkap dapat menghubungi penulis ;)

Rahasia Kebahagiaan

Seorang anak muda menemui seorang bijak di sebuah istana untuk mengetahui 'rahasia kebahagiaan'.

Orang bijak itu mendengarkan dengan penuh perhatian keterangan si anak ttg alasan dia datang, tapi berkata bahwa dia tak punya waktu untuk menerangkan rahasia kebahagiaan. Dia menyarankan anak itu untuk melihat-lihat istana dan kembali dalam dua jam.

"Sambil kamu melihat2, aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku," Kata orang bijak itu, menyodorkan sendok teh berisi dua tetes minyak. "Sambil kamu keliling, bawalah sendok ini tanpa menumpahkan minyaknya."

Anak tadi mulai naik turun tangga2 istana, dengan pandangan tetap ke arah sendok itu. Setelah dua jam, dia kembali ke ruangan tempat si orang bijak berada.

"Nah," tanya orang bijak itu, "apakah kamu melihat tapestri Persia yang tergantung di ruang makanku? Apakah kamu melihat taman yang ditata pakar pertamanan selama sepuluh tahun itu? Apakah kamu memperhatikan kertas-kulit yg indah di perpustakaanku?"

Anak itu merasa malu, dan mengaku dia tidak memperhatikan apa-apa. Perhatiannya hanya tertuju pada minyak di sendok itu supaya tidak tumpah, seperti yg dipercayakan si orang bijak kepadanya.

"Kembalilah dan perhatikan duniaku yang mengagumkan ini," kata si orang bijak. "Kamu tidak dapat mempercayai orang kalau kamu tidak tahu rumahnya."

Dengan lega, anak itu mengambil sendok tadi dan kembali menjelajahi istana itu, kali ini dia memperhatikan semua karya seni di atap dan dinding-dinding. Dia melihat taman2 dan pergunungan di sekelilingnya, bunga2 yang indah, dan mengagumi selera di balik pemilihan segenap hal yang ada di sana. Sekembalinya dia ke orang bijak itu, dia mengungkapkan secara terinci semua yang dilihatnya.

"Tapi mana minyak yg kupercayakan padamu?" tanya si orang bijak.

Memandang ke sendok yg dipegangnya, anak itu melihat minyak tadi telah hilang.

"Baiklah, hanya ada satu nasihat yg bisa kuberikan padamu," kata manusia terbijak itu. "Rahasia kebahagiaan adalah melihat semua keindahan dunia, dan tak pernah melupakan tetesan minyak di sendok."

~ Sang Alkemis (Coelho) ~

Puisi adalah Mantra

Puisi adalah mantra bagimu
Bacakan puisi pada orang yang linglung
Dan dendangkan lagu untaian jiwa untuk orang bingung
Agar mereka tersadar dari pengapnya arus hidup

Puisi adalah mantra bagimu
Ketika kau sulit menidurkan anakmu
Ambil cawan berisi rendaman kata dalam mutiara
Dan siratkan pada tangis bocah kala malam menjelang

Puisi adalah mantra bagimu
Ketika kau gusar dengan keresahan hatimu
Ambil manuskrip usang yang dulu pernah aku tulis
Dan legalkan pada kesahajaan kata-kata sanguinis

Puisi adalah mantra bagimu
Ketika engkau merasa tidak tenang dengan cintamu
Percikkan anggur cinta untuknya
Dan selipkan sebuah kata makna sayang padanya

~Jack Effendi

Note: Bener deh, secara psikologis, jika puisi dianggap sbg 'Mantra' maka ia memberikan efek 'healing' yang mujarab. Mari gemar menikmati puisi.

Jumat, 18 Januari 2008

Anak-Anak Hidup dari apa yang mereka Pelajari

Jika seorang anak hidup dengan kecaman,
ia belajar menyalahkan

Jika seorang anak hidup dengan permusuhan,
ia belajar kekerasan

Jika seorang anak hidup dengan cemoohan,
ia belajar menjadi pemalu

Jika seorang anak hidup dengan rasa malu,
ia belajar merasa bersalah

Jika seorang anak hidup dengan dorongan semangat,
ia belajar percaya diri

Jika seorang anak hidup dengan pujian,
ia belajar untuk menghargai

Jika seorang anak hidup dengan kejujuran,
ia belajar keadilan

Jika seorang anak hidup dengan keamanan,
ia belajar iman

Jika seorang anak hidup dengan restu,
ia belajar menyukai dirinya sendiri

Jika seorang anak hidup dengan dukungan, semangat dan persahabatan,
ia belajar mengasihi dunia

--Anonymous--

Ayah Vs Anak Lelakinya

Judul Buku: Ayah Vs Anak Lelakinya (Panduan Bagi Orang tua, Khususnya Ayah, Dalam Menjalin Hubungan Yang Harmonis Dengan Anak Lelakinya)
Penulis: Ieda Poernomo Sigit Sidi, Psikolog


Anak lelaki dalam keluarga memang punya posisi berbeda dari anak perempuan. Ada harapan, kegalauan, cemas, mengiringi bahagia yang tersimpan di hati karena punya anak lelaki. Benarkah akan selalu begitu pendapat dunia tentang lelaki yang membuat sebagian ayah gamang dan anak lelakinya bingung?

Buku ini akan menguak beberapa kisah nyata yang diambil dari meja praktik penulis sebagai psikolog selama 30 tahun lebih. Dari kisah-kisah tersebut, ternyata figur ayah bisa disimpulkan dalam nuansa kebanggaan, kewajiban, kecemasan. Secara fisik, ayah diposisikan sebagai pelindung. Secara emosional dan spiritual, ayah diharapkan bisa menjadi pembimbing. Namun, kenyataannya akan berbicara lain. Lalu, muncul reaksi anak yang cukup beragam, terutama mereka yang berstatus sulung, atau anak lelaki yang ternyata hanya satu-satunya dalam keluarga. Begitu juga banyak kecamuk perasaan ayah.

Kadang di antara kekaguman terhadap ayah terselip kekecewaan dan....kemarahan! Keperkasaan ayah memunculkan kekaguman namun kekerasannya membuat anak bergidik dan merasa tak berdaya.

Atas dasar keinginan untuk dapat memberikan yang terbaik untuk keluarga, ayah sibuk di luar rumah. Konsentrasi ayah yang terlalu penuh pada pekerjaan seringkali digambarkan di masyarakat sbg hal yang berdampak negatif pada keluarga. Isteri menjadi kesepian, anak-anak hanya bertemu dengan potret dan cerita tentang ayah. Kemudian anak akhirnya mencari figur di luar rumah dan tumbuh tanpa figur yang 'baik' yang diharapkan berasal dari ayahnya.

Dalam buku ini, ada dikisahkan tentang anak lelaki yang di masa dewasanya berselingkuh dengan alasan 'sakit hati' dan 'memodel' sang ayah, sbg pembenaran atas perbuatannya. Ada pula tentang lelaki dewasa yang bercermin dari perilaku 'dingin' dan 'sok wibawa' ayahnya di masa lalu, lantas lelaki ini justru menjadi ayah yang hangat bagi anak2nya dengan tujuan agar anaknya kelak tidak merasakan 'kekosongan diri' seperti apa yang dialaminya di masa lalu atas perlakuan 'dingin' sang ayah tsb.

Mendidik tak ubahnya seperti menenun sehelai kain. Setiap saat diperlukan kejelian dan kecermatan dalam merangkai benang, helai demi helai. Perhatian dan pendekatan ayah, interaksi ayah dan anak lelakinya di sepanjang tahapan perkembangan anak sangat menentukan corak kepribadian anak. Hasil pendidikan memang tidak bersifat segera, ada proses yang harus dilalui secara aktif bersamaan dengan waktu yang terjalani.

Satu yang penulis inginkan lewat buku ini, yakni: ingin mengajak para ayah menukik ke dalam dirinya sendiri, jauh sebelum anak lahir, agar siap melaksanakan tugas sebagai pemegang amanah. Sebab anak adalah titipan Tuhan yang kelak harus dipertanggungjawabk an. Penulis juga ingin, sekaligus, mengajak anak lelaki yang kelak akan menjadi ayah, untuk bercermin pada pengalaman sendiri. Bercermin dari pengalaman sendiri tentunya akan lebih bermanfaat jikalau disertai pemahaman yang utuh dan menyeluruh (tentang relasi ayah-anak lelaki) agar tak timbul dendam yang tak perlu, apalagi sampai bergeming dan menjadi karung beban ketika harus melangkah ke depan.

--------

Minggu, 02 Desember 2007

Bersepatu Hak Tinggi, dapat memicu Schizophrenia

Pas mata kul diagnostik, mhsw ada yang nunjukin sebuah hasil penelitian ttg schizophrenia. Kata penelitian tsb: 'Bersepatu Hak Tinggi, dapat memicu Schizophrenia'. Logikanya dijelaskan seperti ini: saat tumit sering terangkat secara tidak sejajar dengan bagian jemari kaki, saat itu beban tertumpu pada jemari dan memicu peningkatan neurotransmitter bernama Dopamin di dalam otak. Schizophrenia ini ditengarai dapat terjadi manakala jumlah Dopamin meningkat/berlebihan jumlahnya.

Nah loh, besok jangan rajin2 pake sepatu ber-hak ya bu, meski feel more 'anggun' dengan sepatu hak (dan feel more 'psikolog banget', sebab katanya jd psikolog itu harus enak diliat), ya dikurangin lah bu klo gak mau schizophren. Masa' udah narcis kronis, schizophren pula sih bu? emangnya mau koleksi jenis2 abnormalitas ya bu? Hihihi