Jumat, 18 Januari 2008

Anak-Anak Hidup dari apa yang mereka Pelajari

Jika seorang anak hidup dengan kecaman,
ia belajar menyalahkan

Jika seorang anak hidup dengan permusuhan,
ia belajar kekerasan

Jika seorang anak hidup dengan cemoohan,
ia belajar menjadi pemalu

Jika seorang anak hidup dengan rasa malu,
ia belajar merasa bersalah

Jika seorang anak hidup dengan dorongan semangat,
ia belajar percaya diri

Jika seorang anak hidup dengan pujian,
ia belajar untuk menghargai

Jika seorang anak hidup dengan kejujuran,
ia belajar keadilan

Jika seorang anak hidup dengan keamanan,
ia belajar iman

Jika seorang anak hidup dengan restu,
ia belajar menyukai dirinya sendiri

Jika seorang anak hidup dengan dukungan, semangat dan persahabatan,
ia belajar mengasihi dunia

--Anonymous--

Ayah Vs Anak Lelakinya

Judul Buku: Ayah Vs Anak Lelakinya (Panduan Bagi Orang tua, Khususnya Ayah, Dalam Menjalin Hubungan Yang Harmonis Dengan Anak Lelakinya)
Penulis: Ieda Poernomo Sigit Sidi, Psikolog


Anak lelaki dalam keluarga memang punya posisi berbeda dari anak perempuan. Ada harapan, kegalauan, cemas, mengiringi bahagia yang tersimpan di hati karena punya anak lelaki. Benarkah akan selalu begitu pendapat dunia tentang lelaki yang membuat sebagian ayah gamang dan anak lelakinya bingung?

Buku ini akan menguak beberapa kisah nyata yang diambil dari meja praktik penulis sebagai psikolog selama 30 tahun lebih. Dari kisah-kisah tersebut, ternyata figur ayah bisa disimpulkan dalam nuansa kebanggaan, kewajiban, kecemasan. Secara fisik, ayah diposisikan sebagai pelindung. Secara emosional dan spiritual, ayah diharapkan bisa menjadi pembimbing. Namun, kenyataannya akan berbicara lain. Lalu, muncul reaksi anak yang cukup beragam, terutama mereka yang berstatus sulung, atau anak lelaki yang ternyata hanya satu-satunya dalam keluarga. Begitu juga banyak kecamuk perasaan ayah.

Kadang di antara kekaguman terhadap ayah terselip kekecewaan dan....kemarahan! Keperkasaan ayah memunculkan kekaguman namun kekerasannya membuat anak bergidik dan merasa tak berdaya.

Atas dasar keinginan untuk dapat memberikan yang terbaik untuk keluarga, ayah sibuk di luar rumah. Konsentrasi ayah yang terlalu penuh pada pekerjaan seringkali digambarkan di masyarakat sbg hal yang berdampak negatif pada keluarga. Isteri menjadi kesepian, anak-anak hanya bertemu dengan potret dan cerita tentang ayah. Kemudian anak akhirnya mencari figur di luar rumah dan tumbuh tanpa figur yang 'baik' yang diharapkan berasal dari ayahnya.

Dalam buku ini, ada dikisahkan tentang anak lelaki yang di masa dewasanya berselingkuh dengan alasan 'sakit hati' dan 'memodel' sang ayah, sbg pembenaran atas perbuatannya. Ada pula tentang lelaki dewasa yang bercermin dari perilaku 'dingin' dan 'sok wibawa' ayahnya di masa lalu, lantas lelaki ini justru menjadi ayah yang hangat bagi anak2nya dengan tujuan agar anaknya kelak tidak merasakan 'kekosongan diri' seperti apa yang dialaminya di masa lalu atas perlakuan 'dingin' sang ayah tsb.

Mendidik tak ubahnya seperti menenun sehelai kain. Setiap saat diperlukan kejelian dan kecermatan dalam merangkai benang, helai demi helai. Perhatian dan pendekatan ayah, interaksi ayah dan anak lelakinya di sepanjang tahapan perkembangan anak sangat menentukan corak kepribadian anak. Hasil pendidikan memang tidak bersifat segera, ada proses yang harus dilalui secara aktif bersamaan dengan waktu yang terjalani.

Satu yang penulis inginkan lewat buku ini, yakni: ingin mengajak para ayah menukik ke dalam dirinya sendiri, jauh sebelum anak lahir, agar siap melaksanakan tugas sebagai pemegang amanah. Sebab anak adalah titipan Tuhan yang kelak harus dipertanggungjawabk an. Penulis juga ingin, sekaligus, mengajak anak lelaki yang kelak akan menjadi ayah, untuk bercermin pada pengalaman sendiri. Bercermin dari pengalaman sendiri tentunya akan lebih bermanfaat jikalau disertai pemahaman yang utuh dan menyeluruh (tentang relasi ayah-anak lelaki) agar tak timbul dendam yang tak perlu, apalagi sampai bergeming dan menjadi karung beban ketika harus melangkah ke depan.

--------